Senin, 05 Desember 2011

KONFLIK

Definisi Konflik dalam Organisasi

… the condition of objective incompatibility between values or goals, as the bahavior of deliberately interfering with another’s goal achievement, and emotional in terms of hostility (Luthans, 1985:386).

A process in which an effort is purposely made by A to offset the efforts of B by some form of blocking that will result in frustrating B in attaining his or her goals or furthering his or her interests (Robbins, 1996:428).

… disagreement between individuals or groups within the organization stemming from the need to share scarce resources or engage in interdependent work activities, or from differences in status, goals, or cultures (Stoner dan Freeman, 1989:391).2

All kinds of opposition or antagonistic interaction. It based on scarcity of power, resources or social position, and differing value systems (Kreitner dan Kinicki, 1995:283).

Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen (subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung (interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem yang saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial (managerial subsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan subsistem struktur (structural subsystem).

Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar – belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.

Namun, sabagaimana dikatakan oleh Gibson, et al. (1997:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut. Konflik tersebut mungkin tidak membawa “kamatian” bagi organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi.

Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik merupakan suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat.

Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut Robbin (1996), ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka konflik tersebut menjadi suatu kenyataan.

sumber :KSR – PMI UNY 2007


Konflik dalam Kelompok Kerja

-Konflik antar bawahan di bagian yang sama dalam sebuah organisasi
-Konflik antara bawahan dan pimpinan di bagian yang sama dalam sebuah organisasi
-Konflik antar bawahan di bagian yang berbeda dalam sebuah organisasi
-Konflik antara pimpinan dan bawahan di bagian yang berbeda dalam sebuah organisasi
-Konflik antar pimpinan bagian yang berbeda dalam sebuah organisasi.
Dan lain sebagainya


Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.


Menurut Stoner and Freeman

Stoner dan Freeman(1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):

Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.


Menurut Myers

Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)

Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.


Cara-cara penyelesaian konflik menurut Richard Y. Chang adalah sebagai berikut:

Mengakui adanya konflik. Langkah ini merupakan langkah awal untuk menyelesaikan konflik secara dini. Tanpa adanya pengakuan secara sadar bahwa telah terjadi konflik maka masalah tidak akan pernah terselesaikan. Kearifan dari semua pihak sangat diperlukan dalam proses ini.
Mengidentifikasi konflik yang sebenarnya. Kita dapat menyebutnya sebagai identifikasi masalah. Kegiatan ini sangat diperlukan dan memerlukan keahlian khusus. Konflik dapat saja muncul dari sumber atau akar masalah tertentu, namun masalah tersebut menjadi konflik bila tidak dikelola dengan emosi yang baik. Oleh sebab itulah, perlu dipilah mana yang menjadi masalah inti dan mana yang menjadi masalah karena hal-hal emosional. Masalah inti merupakan masalah yang mendasari terjadinya konflik sedangkan emosi hanya memperkeruh masalah itu saja.
Mendengarkan semua pendapat atau sudut pandang dari aktor yang terlibat. Sederhananya, lakukan dengan pendapat dan saran atau sharing dengan melibatkan semua pihak yang terlibat konflik untuk mengungkapkan pendapatnya. Hindari menilai pendapat benar atau salah karena hal ini hanya memperuncing masalah dan menjauhkan dari solusi. Fokuskan pembicaraan pada fakta dan perilaku, bukan pada perasaan atau unsur-unsur personal/pribadi.
Bersama-sama mencari cara terbaik untuk menyelesaikan konflik. Lakukanlah diskusi terbuka untuk memperluas wawasan dan informasi serta alternatif solusi untuk menumbuhkan rasa saling percaya dan hubungan yang sehat di antara semua yang terlibat konflik.
Mendapatkan kesepakatan dan tanggung jawab untuk menemukan solusi. Doronglah pihak-pihak yang terlibat konflik untuk saling bekerja sama memecahkan permasalahan secara tepat. Buatlah seluruh pihak merasa tenang dan merasa diperlukan dan memerlukan satu sama lain. Salah satu cara yang efektif adalah dengan saling memposisikan dirinya pada peranan orang lain, sehingga akhirnya dapat dimengerti kenapa si A bertindak begini, dan mengapa si B bertindak begitu, dan seterusnya.
Menjadwal sesi tindak lanjut untuk mengkaji solusi yang dihasilkan. Pemberian tanggung jawab untuk melaksanakan solusi memerlukan komitmen yang kuat. Oleh sebab itu perlu dikaji solusi yang dihasilkan untuk mengetahui tingkat kefektifan dari solusi tersebut.


Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/psychology/2204653-cara-menyelesaikan-konflik-secara-efektif/#ixzz1fixfbiNK


STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK
Pendekatan penyelesaian konflik oleh pemimpin dikategorikan dalam dua dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan penyelesaian konflik ialah :

1. Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.
2. Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.
3. Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lkain menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.
4. Kolaborasi
Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.
5. Penghindaran
Menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan kelompok lain.

Sedangkan dalam wikipedia dijelaskan Cara-cara Pemecahan konflik seperti :

Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.
Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya icon razz Menyelesaikan Permasalahan Konflik Sosial anitia tetap penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain.
Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.
Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.

Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :

Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan sebagainya.
Subjugation atau domination, yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak lain menaatinya. Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.
Majority rule, yaitu suara terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi.
Minority consent, yaitu kemenangan kelompok mayoritas yang diterima dengan senang hati oleh kelompok minoritas. Kelompok minoritas sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk melakukan kerja sama dengan kelompok mayoritas.
Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.
Integrasi, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak.

Senin, 24 Oktober 2011

Flowchart dalam kehidupan sehari-hari

contoh flowchart sehari-hari
contoh di bawah ini bagaimana cara membuat segelas kopi.


pertama di awali dari.
-mengisi ketel dengan air.
-menghidupkan kompor.
-meletakan ketel di atas kompor.
-menunggu air hingga mendidih.
-matikan kompor setelah air mendidih.
-memasukkan kopi serta gula ke dalam gelas.
-tuangkan air ke dalam gelas.
-aduk merata.
selesai.

Senin, 26 September 2011

Teori Organisasi

DEFINISI ORGANISASI

adalah suatu kelompok orang dalam suatu wadah unit tujuan bersama.
Dalam ilmu-ilmu sosial, organisasi dipelajari oleh periset dari berbagai bidang ilmu, terutama sosiologi, ekonomi, ilmu politik, psikologi, dan manajemen.

Organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu pengaturan orang-orang yang sengaja untuk mencapai tujuan tertentu. Beberapa pengaturan tersebut sudah kita ketahui terjadi di banyak bidang. Misal pada instansi sekolah, pemerintahan, kampus, bank. Semua dapat kita jumpai sehari-hari.

Terdapat empat karakteristik utama dari sebuah organisasi, yaitu: tujuan, kumpulan orang, struktur, sistem dan prosedur.

Terdapat beberapa teori dan perspektif mengenai organisasi, ada yang cocok sama satu sama lain, dan ada pula yang berbeda. Organisasi pada dasarnya digunakan sebagai tempat atau wadah dimana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber daya (uang, material, mesin, metode, lingkungan), sarana-parasarana, data, dan lain sebagainya yang digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi.

UNSUR-UNSUR :

Menuruth Keith Davis ada tiga unsur penting partisipasi.

1. Unsur pertama, bahwa partisipasi atau keikutsertaan sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih daripada semata-mata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah.

2. Unsur kedua adalah kesediaan memberi sesuatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok. Ini berarti, bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk membantu kelompok.

3. Unsur ketiga adalah unsur tanggung jawab. Unsur tersebut merupakan segi yang menonjol dari rasa menjadi anggota. Hal ini diakui sebagai anggota artinya ada rasa “sense of belongingness”.


KARAKTERISTIK
Terdapat empat karakteristik utama dari sebuah organisasi, yaitu: tujuan, kumpulan orang, struktur, sistem dan prosedur.

Tujuan

Setiap organisasi harus memiliki tujuan. Tujuan dicerminkan oleh sasaran-sasaran yang dilakukan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Tiga bidang utama dalam tujuan organisasi yaitu profitability (keuntungan), growth (pertumbuhan), dan survive (bertahan hidup). Ketiganya harus berjalan berkesinambungan demi kemajuan organisasi.

Kumpulan Orang

Jelas, tidak mungkin jika organisasi hanya terdiri dari satu orang yang ingin mencapai tujuannya sendiri. Dari definisi dijelaskan bahwa organisasi setidaknya terdiri dari kumpulan orang, berarti minimal dua, yang memiliki tujuan bersama.

Struktur

Struktur dibentuk dalam sebuah organisasi dengan tujuan agar posisi setiap anggota organisasi dapat dipertanggungjawabkan, mengenai hak maupun kewajibannya. Struktur dibentuk agar organisasi berjalan rapi, karena terdapat struktur komando, siapa yang berwenang dan siapa yang diberi wewenang.

Sistem dan Prosedur

Karakteristik yang terakhir ini menggambarkan bahwa sebuah organisasi diatur berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan bersama dan tentu saja harus dengan penuh komitmen dalam menjalankannya. Implementasi dari sistem dan prosedur ini ialah adanya ketetapan mengenai tata cara, sistem rekrut, dan birokrasi.

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap eksistansi suatu organisasi. Organisasi cenderung memainkan peran menyesuaikan dengan keadaan lingkungan, entah itu demografi, ekonomi, politik, budaya, juga alam sekitar. Jadi, kemajuan organisasi harus selaras dengan perubahan lingkungan.








Beberapa manfaat organisasi yaitu:

1.Organisasi sebagai penuntun pencapaian tujuan. Pencapaian tujuan akan lebih efektif dengan adanya organisasi yang baik.

2.Organisasi dapat mengubah kehidupan masyarakat. Contoh dari manfaat ini ialah, jika organisasi bergerak di bidang kesehatan dapat membentuk masyarakat menjadi dan memiliki pola hidup sehat. Organisasi Kepramukaan, akan menciptakan generasi mudah yang tangguh dan ksatria.

3.Organisasi menawarkan karier. Karier berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan. Jika kita menginginkan karier untuk kemajuan hidup, berorganisasi dapat menjadi solusi.

4.Organisasi sebagai cagar ilmu pengetahuan. Organisasi selalu berkembang seiring dengn munculnya fenomena-fenomena organisasi tertentu. Peran penelitian dan pengembangan sangat dibutuhkan sebagai dokumentasi yang nanti akan mengukir sejarah ilmu pengetahuan.

Selasa, 10 Mei 2011

becouse

“ Karena cinta,Kita bahagia & tertawa...

Karena cinta,Dunia indah & penuh warna...



Tapi cintaBisa membuat hati robek & merana!

Karena cinta dapat berubah warna

Kadang merah...Kadang hitam...Kadang cerah...Kadang kelabu...



Tapi dengan cinta jugalah

Kita dapat menemukan kembali Sebuah kekuatan,Sejumput semangat dan seuntai harapan Untuk kembali mencintai,dicintai dan mengalami cinta...”

Pertanyaan Untuk Cinta

“Adakah tapak tanganmu berkeringat, hatimu
berdebar kencang dan suaramu tersekat di dadamu?
Itu bukan Cinta, itu SUKA.
Adakah kamu tidak dapat melepaskan pandangan
mata darinya?
Itu bukan Cinta, itu NAFSU.
Adakah kamu menginginkannya kerana kamu tahu
ia ada di sana?
Itu bukan Cinta, itu KESEPIAN.
Adakah kamu mencintainya kerana itulah yang
diinginkan semua orang?
Itu bukan Cinta, itu KESETIAAN.
Adakah kamu tetap mengatakan kamu
menyintainya kerana kamu tidak ingin melukai
hatinya?
Itu bukan Cinta, itu BELAS KASIHAN.
Adakah kamu menjadi miliknya kerana pandangan
matanya membuat hatimu melompat?
Itu bukan Cinta, itu TERGILA-GILA.
Adakah kamu memaafkan kesalahannya kerana
kamu mengambil berat tentangnya?
Itu bukan Cinta, itu PERSAHABATAN.
Adakah kamu mengatakan padanya bahawa setiap
hari hanya dia yang kamu fikirkan?
Itu bukan Cinta, itu DUSTA.
Adakah kamu rela memberikan semua perkara
yang kamu senangi untuk kepentingan dirinya?
Itu bukan Cinta, itu KEMURAHAN HATI.
Tetapi
Adakah kamu tetap bertahan kerana campuran
antara kesakitan dan kegembiraan yang
membutakan dan tak terfahami … menarikmu
mendekati dan tetap bersamanya?
ITULAH CINTA.
Apakah kamu menerima kesalahannya kerna itu
bahagian dirinya dan siapa dirinya?
Jika demikian, ITULAH CINTA.
Adakah kamu tertarik dengan orang lain tapi setia
dengannya tanpa penyesalan?
Jika demikian, ITULAH CINTA.
Adakah kamu menangis kerana kesakitannya
walaupun saat itu dia kuat?
ITULAH CINTA.
Adakah hatimu sakit dan hancur ketika dia
bersedih?
ITULAH CINTA.
Adakah hatimu gembira ketika dia berbahagia?
ITULAH CINTA.
Adakah matanya melihat hatimu dan menyentuh
jiwamu begitu mendalam sehingga menusuk?
Yang demikian itulah namanya CINTA.



I’ve never given much thought to how I would die. But dying in the place of someone I love seems like a good way to go.


I’ve never given much thought to how I would die. But dying in the place of someone I love seems like a good way to go.

HARDCORE

HARDCORE
Hardcore (penulisannya disambung), kata yang sering disebut banyak orang (terutama remaja) ini sebenarnya bukan sekedar jenis musik saja, melainkan sebuah perasaan yang kuat/peka yang disertai dengan tingkah laku berdasarkan kecintaannya pada hidup. Tepatnya sebuah emosi jiwa. Arti sebenarnya dari “hardcore” ini adalah “yang paling” atau “intisari” (bukan sebuah jenis minuman).
Berdasarkan keterangan di atas, sangat benar kalo dikatakan bahwa hardcore merupakan satu bentuk ekspresi yangg dikeluarkan dalam bentuk gaya hidup dengan pemikiran ke depan dan perhatian terhadap lingkungannya.
Jadi, in other words hardcore adalah gaya hidup, tingkah laku, komunitas terbuka, perasaan, emosi jiwa, kebersamaan, persatuan dan kesatuan, persahabatan sejati, persaudaraan yang tanpa memandang segi/hal apapun.
Nah, kalo hardcore yang berhubungan musik itu apaan? Jadi sekitar era 70’an dan awal 80’an, di Amrik terdapat sekelompok pemuda yang terdiri dari remaja2 miskin yang mencari nafkah sebagai buruh, beberapa skateboarder jalanan, gangster (preman), dan beberapa remaja lainnya yang rata – rata pengangguran (benci sekolah). Mereka semua ini penggemar berat OI! atau punkrock, dan memiliki group band beraliran sama. Para pemuda itulah yg nantinya menjadi pondasi pertama sejarah pergerakan hardcore di dunia.
Nah, mengenai sejarah band2 hardcore sendiri sebenernya banyak. Ada yang terkenal dan banyak juga yang bubar sebelum naik ke permukaan. Beberapa contoh group band Amrik ini adalah S.S. Decontrol, Negative Approach, Minor Threat, Iron Cross, Agnostic Front, Bad Brains dll. Selang beberapa tahun kemudian hardcore semakin menjamur disana dan munculah nama2 spt Cro-Mags, Youth Of Today, Murphy’s Law, Cause For Alarm dll. Nah…Band2 inilah yg nantinya disebut “Old School” karena kata tersebut identik dgn kekerasan, tattoo dimana – mana, mabuk apa saja, dan lirik lagu yg bertemakan hatred, critizing, pure attitude serta para personilnya rata2 skinhead.
Apa itu old school dan skinhead?
Old school adalah sebutan untuk para pengusung street punk/OI! yang berjiwa hardcore. Mereka identik dengan fashion skinhead-nya (shaved heads, boots, dan braces) dan dengan lambang Sanctae Cruce-nya (nama asli untuk iron cross). Lambang itu dipakai karena mereka penganut agama Kristen/katholik yg taat. Lambang itu sendiri diciptakan oleh King Richard dari Inggris semasa Perang Salib, dan sayangnya pernah mendapat reputasi yg buruk karena Jerman juga memakainya semasa perang Dunia 1 & 2. Jadi sungguh lucu apabila ada sebuah band hardcore yang mengaku dirinya Old Shool tp tdk pernah berkiblat pd OI!, tidak satupun personilnya seorang skinhead, yg berani memakai lambing iron cross hanya karena ikut – ikutan, bukan karena penganut agama yang bersangkutan, bahkan mungkin tidak pernah tau apa itu Sham 69, Cockney Reject, The Business, Cock Sparrer, Angelic Upstarts, The 4-skins, The Last Resort, The Crack, Condemned 84, The Oppressed, Red Alert dll…dsb. Mereka hanya tau Sick Of It All, Warzone, Gorilla Biscuit.
Nah, ada yang pernah denger kata Straight Edge ( SxE )? Apa lagi nih? Nama ini berasal dari sebuah judul lagu Minor Threat. Hal ini merupakan sebuah pengendalian diri. Pengendalian hidup kamu sendiri dan bukan orang lain, menjadi seorang yang berguna dan menjadi seorang sahabat yg baik. Setelah itu, barulah kemudian menjadi seorang pacilist, anti kekerasan, tidak merokok dan minum minuman yang merusak tubuh (seperti alkohol dan produk Coca-Cola/bersoda), bebas dari narkoba dan menjadi seorang vegan/vegetarian. Jadi bukan hanya sekedar membubuhkan tanda “X” di punggung tangan apabila seseorang bukanlah seorang penganut paham SxE (Straight Edge).



What is a Football Casual?

What is a Football Casual?

Are they a breed of meathead hooligans looking for any excuse to have a ruck? Are they a bunch of skinheads in bomber jackets and Doc Martens who have affiliations with right-wing political militant groups? Are they chav kids intent on causing public disorder? Whatever your perception is or however you want to label them - I guarantee most of you will be wrong.
Being a Football Casual was and is in it's simplest form, about one-upmanship. The term casual is one that tends to stick the most, but there were also 'Perry's' from Manchester and 'Scallies' from Liverpool and numerous more other regional names for a similar type of football fan.
The Football Casual subculture wasn't about being politically led. Many casuals within the same crews had varying left-wing, right-wing and liberal political views. Neither was it was driven by one type of musical style. There's a wide spectrum of musical styles that many Football Casuals enjoy. Varying from original mod, revivalist mod, ska, dub, indie rock, rave, nu-rave, madchester, punk, post-punk , oi and even more. Football Casual culture had the allure to many of these other musical followers to cross-over to the casual side - and many of them did. Was it a fashion thing? Almost certainly - but not at first. It was a general look thing, which then transformed into a label slave thing. Was it a violence thing? Yes, but it was more of a byproduct of the one-upmanship - a necessity to show that your crew were number one both in the fashion and violence stakes. Violence and fashion were the key battlefields - but under the banner of the team of which you supported.
The need for a country like Britain to have a youth culture which is either led by teenage angst, political anarchy or musical revolution has always been evident. Most recently, ever since the 60's when the mods took on the rockers - these type of tribal clashes of various youth cultures have dominated our shores. I cite the mods in particular, as I believe that many of the fashion principles of mod culture (clean lines, minimal styling) also lie at the heart of the Football Casual subculture. Obviously there also some musical links, but that's where it ends really. The whole art and jazz thing (the original modernists) are certainly things which don't translate in Football Casual culture. Every movement needs a vehicle and with mods it was music, scooters and fashion. It just so happens, that the Football Casual subculture originated from the football terraces and their vehicle was football, fighting and fashion. If you were a mod, it was arguably easier for you to move across - as brands such Fred Perry and (less so) Ben Sherman could translate.
Where and when did the whole thing start? There's been much debate on this, but it's universally accepted that the scene originated from Liverpool in the late 70's. Liverpool were kings of Europe and a number of fans started to pick things up on their travels. Before long, expensive sportswear and designer labels found on the continent were soon also finding their way onto the terraces. Sergio Tacchini, Fila and Lacoste tennis shirts were quite popular around this time. Footwear was taking off too with the adidas sambas and Diadora Borgs Elites. Before long many northern firms were going on 'shopping' trips to Europe to loot a number of German, French and Swiss designer sportswear stores, as security was far more lax than in the UK. Over the course of a few years, everybody was wearing the staple brands, with each individual firms showing preference to particular brands. Suddenly, one-upmanship was all the rage as more and more brands were being discovered, but often varied in popularity from region to region.

By the mid 80's there were brands which were almost essentials and others which varied from crew to crew. Stone Island and CP jackets were essential, as well as vintage adidas trainers. Fila BJ, Ellesse, Sergio Tacchini and Lacoste track tops also grew in popularity. Tennis chic is the look which has probably defined the casual look more than any other. Before long the likes of Armani, Burberry, Aquascutum, Berghaus, Fiorucci and Lois were soon being added to the wardrobe.
When the 90's came around, the focus moved slightly from sportswear to more designer brands such as Polo Ralph Lauren, YSL (before it became over commercialised), Paul Smith and Prada began to emerge across the country. However, many of the sportswear brands around at the beginning are still acceptable today. It must be said though that only certain ranges are acceptable. For instance Lacoste 1212 polo shirts, v-neck and crew neck jumpers are all okay - but not Lacoste baseball caps or t-shirts.Another example is Fred Perry twin tip polo shirts - but probably only the twin tips. Again, this varies from region to region and cannot be assessed scientifically.
Football hooliganism in England dates back to the 1880s, when what were termed as roughs caused trouble at football matches.[5] Local derby matches would usually have the worst trouble, but in an era when travelling fans were not common, roughs would sometimes attack the referees and the away team's players.[97] Between the two World Wars, football hooliganism diminished to a great extent, and it started to attract media attention in the early 1960s. A moral panic developed because of increased crime rates among juveniles, and because of the mods and rockers conflict. Football matches started to feature regular fights among fans, and the emergence of more organised hooliganism.[97] Fans started to form themselves into groups, mostly drawn from local working class areas. They tended to all stand together, usually at the goal-end terrace of their home football ground, which they began to identify as their territory. The development of these ends helped bring about national gang rivalries, focused primarily around football clubs. With the growth of fans travelling to watch their local club play away matches, these gangs became known as hooligan firms, and during matches they focused their attentions on intimidating opposing fans.[97] Some hooligans travelled to games on the Football Specials train services.
Starting in the late 1960s in the United Kingdom, the skinhead and suedehead styles were popular among football hooligans. Eventually, the police started cracking down on people wearing typical skinhead clothing styles, so some hooligans changed their image. In the early 1980s, many British hooligans started wearing expensive European designer clothing, to avoid attracting the attention of authorities. This led to the development of the casual subculture. Clothing lines popular with British casuals have included: Pringle, Fred Perry, Le Coq Sportif, Aquascutum, Burberry, Lacoste, Timberland, Lonsdale, Sergio Tacchini, Ben Sherman, Ralph Lauren, Abercrombie and Fitch and Stone Island.
During the 1970s, organised hooligan firms started to emerge with clubs such as Arsenal (Gooners, Herd) Birmingham City (Zulus), Derby County (Derby Lunatic Fringe), Chelsea (Headhunters), Everton FC (County Road Cutters)(Barnet B.U.G) Leeds United (Leeds Service Crew), Southampton FC (The Deceased Crew),QPR (C Mob,Ellerslie Enders), Burnley FC (The Suicide Squad), Liverpool FC (The Urchins), Manchester City (Guvnors, Young Guvnors, Mayne Line Service Crew) Manchester United (Red Army), Portsmouth (6.57 Crew), Sheffield United (Blades Business Crew) and West Ham United (Inter City Firm). Lower league clubs also had firms, such as Blackpool's Rammy Arms Crew and Millwall's (F-Troop), Sunderland AFC (the vauxies, seaburn casuals)and Stoke City (Naughty Forty) . Two main events in 1973 led to introduction of crowd segregation and fencing at football grounds in England.[98] Manchester United were relegated to the Second Division, and the Red Army caused mayhem at grounds up and down the country, and a Bolton Wanderers fan stabbed a young Blackpool fan to death behind the Kop at Bloomfield Road during a Second Division match.
In March 1985, hooligans who had attached themselves to Millwall were involved in large-scale rioting at Luton when Millwall played Luton Town in the quarter final of the FA Cup. Prime Minister Margaret Thatcher's immediate response was to set up a "War Cabinet" to combat football hooliganism.[100] On 29 May 1985, 39 Juventus fans were crushed to death during the European Cup Final between Liverpool and Juventus at Heysel Stadium in Brussels; an event that became known as the Heysel Stadium disaster. Just before kick-off, Liverpool fans broke through a line of police officers and ran toward the Juventus supporters in a section of the ground containing both English and Italian fans. When a fence separating them from the Juventus fans was broken through, the English supporters attacked the Italian fans, the majority of whom were families rather than ultras who were situated in the other end of the ground. Many Italians tried to escape the fighting, and a wall collapsed on them. As a result of the Heysel Stadium disaster, English clubs were banned from all European competitions until 1990, with Liverpool banned for an additional year.
On 11 May 1985 a 14-year-old boy died at St Andrews stadium when fans were pushed onto a wall by Police which subsequently collapsed following crowd violence at a match between Birmingham City and Leeds United.[104][105] The fighting that day was described by Justice Popplewell, during the Popplewell Committee investigation into football in 1985 as more like "the Battle of Agincourt than a football match".Because of the other events in 1986 and the growing rise in football hooliganism during the early 1980s, an interim report from the committee stated that "football may not be able to continue in its present form much longer" unless hooliganism was reduced, perhaps by excluding "away" fans.
Margaret Thatcher, UK Prime Minister from 1979 to 1990, made a high-profile public call for the country's football hooligans to be given "stiff" prison sentences to act as a deterrent to others in a bid to clamp down on hooliganism. Her minister for sport, Colin Moynihan, attempted to bring in an ID card scheme for football supporters.
The government acted after the Hillsborough disaster in 1989, when 96 fans died, bringing in the Football Spectators Act 1989 in the wake of the Taylor Report However, the Hillsborough Justice Campaign states: "the British Judicial system has consistently found that violence or hooliganism played no part whatsoever in the disaster". On 15 February 1995, England played Ireland. English fans started to throw items down into the stand below and rip up seats; after battles broke out between police and English fans, 50 people were injured. Rumours of IRA retribution at Dublin Airport never materialised and no fixture has been arranged between the two neighbouring countries since.
English and German fans have a rivalry dating back to the late 1980s. Other occasional clashes have occurred with a few other teams since the mid 1980s.[114] France 98 was marred by violence as English fans clashed with the North African locals of Marseille, which led to up to 100 fans being arrested.[115]
In the 2000s, English football hooligans often wear either clothing styles that are stereotypically associated with the "[casual]" subculture, such as items made by Shark and Burberry. Prada and Burberry withdrew certain garments over fears that their brands were becoming linked with hooliganism.[116] English hooligans have begun using Internet forums, mobile phones and text messages to set up fight meetings or provoke rival gangs into brawls.[117] Sometimes fight participants post live commentaries on the Internet.
Football violence in British stadiums declined after the introduction of the Football Spectators Act, and in the 2000s much of the trouble occurred away from stadiums or away at major international tournaments.At Euro 2000, the England team was threatened with expulsion from the tournament, due to the poor behaviour of the fans. Following good behaviour in the Korea-Japan 2002 and Portugal 2004, the English reputation has improved.[120] At the 2006 FIFA World Cup in Germany, there were limited incidences of violence, with over 200 preventative arrests in Stuttgart (with only three people being charged with criminal offences) 400 others taken into preventative custody During that day, Police believe that on average each rioter consumed or threw 17 litres of beer.[122]

SCOTTISH CASUALS

THEY were the days when a thirst for violence merged with a love of fashion, days when rival football fans turned on each other in bloody battles, days which forged one of Britain's most controversial youth movements, whose lasting impact has been airbrushed out of history by social commentators unable to make sense if it.
The height of the casual movement . . . and its effect on Scotland, particularly Aberdeen . . . is recalled in Congratulations, You Have Just Met The Casuals, a new tome that tries to shed light on the phenomenon, even if it's unlikely to rewrite the history books.
Its author, Dan Rivers, is a former member of the notorious Aberdeen Soccer Casuals (or the ASC as they became known).
His blow-by-blow accounts of street and terrace battles are unlikely to change the minds of those who long ago decided casuals were unworthy of cultural examination.
Yet there is a small but growing number of voices who believe the legacy of the casual cannot be so easily dismissed, who argue that it can be found on every street in every town and city in Britain; that its impact on popular consciousness still affects the way society perceives young men; and that its influence can be felt on the music young people listen to and on the clothes they wear.
For Stuart Cosgrove - television executive, broadcaster and devoted football fan - casuals are the great hidden subculture of British life, unloved by virtually everyone.
"Mainstream football fans resent their violence, sociology lecturers can't think of anything interesting to say about them and even the companies whose labels they sport, such as Burberry and Stone Island, just wish they would go away, " he says. "Unlike the punks and the mods, they have nobody theorising on their behalf.
Academia should learn to love casuals."
The movement began in the late 1970s, ostensibly when Liverpool fans followed their team to Europe and were exposed to fashions not widely available in Britain.
Take labels such as Fila, Lacoste, Burberry and Kappa, add a taste for serious fighting and a new youth culture was born.
It was, according to cultural commentator, former NME journalist and Oasis biographer Paolo Hewitt: "One of the biggest workingclass youth cults ever, " but because its home was the football terraces [which at that time were entirely the preserve of the working class] rather than universities or art schools, it went largely unexplored by the media.
Author Phil Thornton, a former Manchester United casual, grew so sick of reading books about British youth culture and British dress sense that relegated casuals to a sentence or a paragraph that he wrote his own account of the movement, called simply, Casuals. "You get a lot written about punk and mod but there was nothing there that addressed casuals at all, " he says.
As with every youth movement before and since, it was the clothes that marked the casuals out. "It wasn't even being covered by the fashion magazines, " says Peter Hooton, the former frontman of indie group The Farm, who was editing an influential football fanzine called The End in Liverpool as the 1980s began.
From its pages, Hooton derided the violence that was becoming such an integral part of British football, but in every other respect he was a fully paid-up member of the casual army. He didn't start The End to chart a subculture - he was a football fan first and foremost - but he grew increasingly annoyed at what he saw as a metropolitan dismissal of a genuine working-class movement.
"I remember Kevin Sampson [later The Farm's manager and now an author] writing to The Face in the early 1980s with a piece about casuals and they rejected it. They said there is absolutely no interest in that subject. That was their attitude."
Hooton remembers his first brush with casualdom. "This lad came into a pub in Liverpool, must have been 1978 or 1979, and he had a pair of strapover training shoes on. Everyone was amazed. They said, 'Where did you get them from?' and he just went, 'Switzerland.' And that was it."
It's generally accepted that the casual has "Made in Merseyside" stamped indelibly in his DNA. Easily the most successful team in Britain throughout the 1970s, Liverpool FC were also dominating European competitions from 1977 onwards. And where the team went - Rome, Paris, Madrid - significant numbers of fans followed, picking up items of sportswear unavailable in the UK. By the late 1970s, away fans visiting Liverpool's Anfield ground would have noticed clusters of outlandishly dressed young men in exotic-looking tracksuit tops and shiny new trainers. Later these same fans would adopt tweed jackets, deerstalkers, even tennis and cricket gear, as terrace fashions changed with the seasons.
In 1981, Liverpool won their third European Cup Final in five years, beating Real Madrid in Paris. Hooton was at the midweek game and, like thousands of other fans, travelled over on the ferry the weekend before. As well as football, he had training shoes on his mind: a rumour had spread about a shop in Paris called The Adidas Centre which sold trainers unavailable anywhere else. It was the Holy Grail as far as Hooton and hundreds of other Scouse soccer casuals were concerned. They spent all weekend scouring the city looking for it.
"It was a myth. I don't think it ever existed, " he says. "But by the Monday morning, all the sports shops in Paris had either shut or they had bouncers on the door."
The labels so beloved of the casuals are hardly more enthusiastic about the link. "You have all these labels like Prada, Burberry, Armani, and they all want nothing to do with it because of its connection with football violence, " says Hewitt. "On the other hand they're making millions of pounds out it."
Examine the leisure-wear industries today and you'll find multi- million pound operations feeding an appetite for training shoes and sports wear that is a direct result of the casuals' love of labels. The racks in every high-street sports shop now groan under the weight of retro trainers such as Adidas Stan Smiths or Puma G Vilas.
Last month, Burberry's chief executive Rose Marie Bravo said the label's adoption by "chavs" - the English equivalent of neds - "probably had not helped" the upmarket brand's UK performance.



Some commentators have tried to depict the casuals' adoption of brands such as Pringle, Aquascutum and Barbour as signs of an aspirational intent. "I've always thought that was bollocks, " says Thornton. "Essentially, most casuals were aesthetes. They were into the look of clothes and the feel of clothes and it just so happens that these things are the nicest.
They weren't making any comments about subverting the class hierarchy.
"I think the dandified male has been a recurring theme throughout British youth culture. There's always been this British working- class obsession with fashion and not allowing yourself to be browbeaten. You dress in a way that marks you out as special."
It was this obsession with labels that helped the casuals movement take root in its first Scottish city, Aberdeen. Rivers traces the impetus for the formation of the ASC back to a European cup match between Aberdeen and Liverpool in October 1980: "On that day, a section of the away support were seen dressed in 'trendy' sportswear - designer tracksuits and top-of-the-range trainers - rather than the traditional club supporter's uniform, which was normal clothes adorned with the team's colours of red and white."
Inspired, some Aberdeen fans took up the mantle and were soon scouring the country for hard-to-find, or just plain expensive, items of clothing. Like the Liverpool casuals they also had their own European shopping excursions to look forward to - in the 1983 European Cup-Winners' Cup competition, Aberdeen disposed of the mighty Bayern Munich and then beat the even mightier Real Madrid in the final in Gothenburg.
A year later, in the same competition, they went out in the semi- finals to Porto.
Germany, Belgium, Sweden, Hungary, Portugal: over a two-year period Aberdeen fans visited all these places and, unlike the Liverpool casuals, many had oil money in their pockets to fund their clothes purchases.
Gradually the casual trend spread throughout Scotland, with Hibernian and Motherwell the two other clubs at which the new look found the most favour. Until these sides "turned trendy", it was usually with their skinhead followers that the ASC would wage war. With the birth of the casuals, the numbers doubled. Hundreds would fight pitched battles in Edinburgh, Glasgow, Dundee.
The ASC were the first, biggest, and most feared of the crews that plagued Scottish football in the 1980s. Week in, week out, Rivers and his sharp-dressed soldiers would do battle with other gangs: Hibernian's Capital City Service, Motherwell's Saturday Service or perhaps The Utility, a combined gang made up of Dundee and Dundee United supporters.
The publication of Rivers's book, compiled from the notes and diaries he kept at the time, supposedly marks the 25th anniversary of the gang's foundation in 1980, though that in itself is a hazy concept.
It's not as if there was ever an inauguration ceremony. It is the latest addition to what has become a minor publishing industry.
One of the earlier books in the hooligan memoir canon also featured Aberdeen FC.
Jay Allen's Bloody Casuals, published in 1989, is still regarded as one of the best of its kind though it's now out of print. Edinburgh Central Library's single copy is kept under lock and key in the reference section because all the others were stolen, a common fate for books of its type. Fill out the requisite form and a librarian will bring you a slim, well-thumbed volume straining with expletives; an unabashed celebration of fists, Fila and football.


If the violence is the least attractive aspect of the casual phenomenon, its influence on the music industry was altogether more benign. By the end of the 1980s, the casuals melted away from the football grounds. One important factor was the Hillsborough disaster in which 96 Liverpool fans were crushed to death during an FA Cup match.
In the tragedy's aftermath football cleaned up its image. As police and authorities clamped down, the writing was on the wall for the terrace culture that had spawned the casuals. Even the terraces themselves went, swept away by a report into the Hillsborough disaster which recommended the introduction of all-seater stadia.
But that wasn't the end of the casuals' influence. Lured into nightclubs by the house music explosion, the casuals were transformed from rowing hooligans into loved-up ravers by a new drug, ecstasy.
Bands like Manchester's Happy Mondays, former casuals to a man, took the fashion style that had developed on the terraces and put it into the nightclubs where it became the dominant look.
The influence can still be seen in acts such as two-time Mercury Prize nominee Mike Skinner, who records under the name The Streets. "He's probably the most visible ambassador, " says Thornton. "If you look at what he wears it's not that dissimilar to what kids were wearing in the late 1970s in Liverpool. He might be wearing Reebok instead of Adidas Samba and a Stone Island coat instead of a Peter Storm cagoule but the look's the same." Liam Gallagher of Oasis was an earlier version, though in the mid-1990s, the media had a different label for people who dressed like him: "polo geezer". The terms may change, but society's attitude remains the same.
When Aberdeen take on Hibernian in a vital league game at Easter Road this Saturday, scan the crowds heading to the match and you'll see practically every young fan sporting something of the old casual uniform. It might be a pair of designer trainers or a Lacoste polo, it might be a CP Company jacket or, for the wellheeled few, a Pounds500 Stone Island coat. The casuals have grown up and calmed down but in our brand-obsessed 21st century, their legacy is everywhere.

apakah kami berbeda?

Kalian terlalu sering mengeluhkan lelaki yang suka berbohong, doyan body, perokok, nakal dan lainnya. Bagaimana dengan kalian? Kalian menciptakan arogansi, matrealis, don't want to forget because its often forgotten. Apakah kami sering mengeluh dengan kalian yang suka memilih lelaki dari kendaraan pribadinya? Style nya? Gaya hidupnya? Pekerjaannya? Status sosialnya? Kami memiliki kendaraan pribadipun tetap menerima kalian yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Betapa baiknya kami, namun betapa menjijikannya kalian. Kami memiliki uang, tapi kami menerima kalian yang berduka untuk mengeluarkan uang. Sedangkan kalian? Kalian tidak punya uang tapi hanya menerima lelaki yang ber-uang. Kami menerima seburuk apapun dandanan kalian, kalian? Hanya menerima kami yang menggunakan pakaian good-looking dimata kalian. Kalian hanya mengeluh "Panas, takut hitam", "Hujan, takut basah masuk angin". Pernahkah kami mengeluh sewaktu menjemput / mengantar kalian dengan keluhan seperti itu? Kami tersenyum, memeluk kalian dengan hangat. Pernahkah kalian berfikir apa yang terjadi sewaktu kami dijalan ketika ingin menjemput kalian? Apakah kalian tau seberapa panasnya udara di siang bolong, dinginnya udara ketika hujan, mematikan AC karena bensin tidak cukup dan menyalakan AC ketika bersama kalian? Pernahkah kalian pikirkan? Karena kami meletakkan kalian di posisi yang ISTIMEWA! Kami menabung di weekdays untuk pergi berbahagia dengan kalian di hari weekend. Kami menggunakan kendaraan pribadi dengan tanggung jawab yang besar, atau bahkan rela meronta-ronta meminta izin kepada Orang tua untuk dipinjamkan kendaraan hanya untuk pergi bersama kalian. Sedangkan kalian hanya cukup meminta izin ke orang tua untuk pergi atau bahkan tidak perlu izin sama sekali. Kalian menghina kami dengan sebutan BAJINGAN , namun setelah itu kalian membalas kami dengan hal yang sama. Akankah kami balik menghina kalian dengan kata tersebut? Kalian menuduh kami hanya menggunakan tubuh kalian, apakah pernah kami mengeluh bahwa kalian hanya menggunakan tubuh kami? Kadang kami kesal, tidak kuat untuk terus bertahan hingga hilang kontrol. Kadang kalian kesal, tidak kuat untuk terus bertahan hingga hilang kontrol dan tak terkendali seterusnya. Kami selalu meminta maaf. Kalian meminta maaf? Kalian menolak dengan "Masa cewe minta maaf duluan" Tolong hargailah kami, sebagaimana kami menghargai kalian.

PREJUDICE

I'm not like that they know
even they do not know me
talking behind me
prejudice and insults against me
but i don`t care about it..

I'm not like that they know
I'm not like that they think
I'm not like that they know
I'm not like that they think

time will come when
when all was not proven
and the victory came
all that would come

friendship or friendshit

Sering terjadi di komunitasmu.
Virus yang kini tumbuh menyubur
Teman tak lagi dihargai
Kepuasaan yang penting di utamakan

Kau dibelakang menyimpan belati.
Yang siap kau tancapakan
Menusuk dari belakang
Itu sering terjadi.

Mengatasnamakan teman
Kau rusak persahabatan
Friendship or friendshit !!
U real enemy !!!

Friendship or friendshit
threat from the rear
Friendship or friendshit
This is real enemy

Kamis, 21 April 2011

Ten 2 Five I Will Fly lyrics

You know all the things i’ve said
You know all the things that we have done
And things i gave to you
There’s a chance for me to say
How precious you are in my life
And you know that it’s true

To be with you is all that i need
Cause with you, my life seems brighter and these are all the things
I wanna say...

I will fly into your arms
And be with you
Til the end of time
Why are you so far away
You know it’s very hard for me
To get myself close to you

You’re the reason why i stay
You’re the one who cannot believe
Our Love will never end
Is it only in my dream?
You’re the one who cannot see this
How can you be so blind?

I will fly into your arms
And be with you
Til the end of time
Why are you so far away
You know it’s very hard for me
To get myself close to you

I wanna get
I wanna get
I wanna get myself close to you

Kepribadian

Kepribadian
KEPRIBADIAN menurut Allport adalah:
…sebuah organisasi dinamis di dalam sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan pikirannya.

Sedangkan menurut Pervin dan John:
kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan dan perilaku yang konsisten.

Dalam teori-teori kepribadian, kepribadian terdiri dari antara lain trait dan tipe (type). Trait sendiri dijelaskan sebagai konstruk teoritis yang menggambarkan unit/dimensi dasar dari kepribadian. Trait menggambarkan konsistensi respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait, tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar daripada trait.

Trait merupakan disposisi untuk berperilaku dalam cara tertentu, seperti yang tercermin dalam perilaku seseorang pada berbagai situasi. Teori trait merupakan teori kepribadian yang didasari oleh beberapa asumsi, yaitu:

Trait merupakan pola konsisten dari pikiran, perasaan, atau tindakan yang membedakan seseorang dari yang lain, sehingga:
Trait relatif stabil dari waktu ke waktu
Trait konsisten dari situasi ke situasi
Trait merupakan kecenderungan dasar yang menetap selama kehidupan, namun karakteristik tingkah laku dapat berubah karena:
ada proses adaptif
adanya perbedaan kekuatan, dan
kombinasi dari trait yang ada
Tingkat trait kepribadian dasar berubah dari masa remaja akhir hingga masa dewasa. McCrae dan Costa yakin bahwa selama periode dari usia 18 sampai 30 tahun, orang sedang berada dalam proses mengadopsi konfigurasi trait yang stabil, konfigurasi yang tetap stabil setelah usia 30 tahun (Feist, 2006).

Teori trait dimunculkan pertama kalinya oleh Gordon W. Allport. Selain Allport, terdapat dua orang ahli lain yang mengembangkan teori ini. Mereka adalah Raymond B. Cattell dan Hans J. Eysenck.

Allport mengenalkan istilah central trait, yaitu kumpulan kata-kata yang biasanya digunakan oleh orang untuk mendeskripsikan individu. Central trait dipercaya sebagai jendela menuju kepribadian seseorang. Menurut Allport, unit dasar dari kepribadian adalah trait yang keberadaannya bersumber pada sistem saraf. Allport percaya bahwa trait menyatukan dan mengintegrasikan perilaku seseorang dengan mengakibatkan seseorang melakukan pendekatan yang serupa (baik tujuan ataupun rencananya) terhadap situasi-situasi yang berbeda. Walaupun demikian, dua orang yang memiliki trait yang sama tidak selalu menampilkan tindakan yang sama. Mereka dapat mengekspresikan trait mereka dengan cara yang berbeda. Perbedaan inilah yang membuat masing-masing individu menjadi pribadi yang unik. Oleh sebab itu Allport percaya bahwa individu hanya dapat dipahami secara parsial jika menggunakan tes-tes yang menggunakan norma kelompok.

Sama seperti Allport, Cattell juga percaya bahwa kata-kata yang digunakan seseorang untuk menggambarkan dirinya dan orang lain adalah petunjuk penting kepada struktur kepribadian. Perbedaan mendasar antara Allport dan Cattell adalah bahwa Cattell percaya kepribadian dapat digeneralisir. Yang harus dilakukan adalah dengan mencari trait dasar atau utama dari ribuan trait yang ada.

Menurut Allport, faktor genetik dan lingkungan sama-sama berpengaruh dalam menentukan perilaku manusia. Bukan hanya faktor keturunan sendiri atau faktor lingkungan sendiri yang menentukan bagaimana kepribadian terbentuk, melainkan melalui pengaruh resiprokal faktor keturunan dan lingkungan yang memunculkan karakteristik kepribadian.

Sehubungan dengan adanya peran genetik dalam pembentukan kepribadian, terdapat 4 pemahaman penting yang perlu diperhatikan:

1. Meskipun faktor genetik mempunyai peran penting terhadap perkembangan kepribadian, faktor non-genetik tetap mempunyai peranan bagi variasi
kepribadian
2. Meskipun faktor genetik merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi lingkungan, faktor non-genetik adalah faktor yang paling bertanggungjawab
akan perbedaan lingkungan pada orang-orang
3. Pengalaman-pengalaman dalam keluarga adalah hal yang penting meskipun lingkungan keluarga berbeda bagi setiap anak sehubungan dengan jenis
kelamin anak, urutan kelahiran, atau kejadian unik dalam kehidupan keluarga pada tiap anak.
4. Meski terdapat kontribusi genetik yang kuat terhadap trait kepribadian, tidak berarti bahwa trait itu tetap atau tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan.

Sumber bacaan:

Cooper, C.L., & Payne, R. (1991). Personality and stress: Individual differences in the stress process. England: John Wiley & Sons Ltd.

Feist, J. & Feist, G. J. (2006). Theories of personality. (Ed. Ke-6). New York: McGraw-Hill Inc.

Hjelle, L.A., & Ziegler, D.J. (1992). Personality theories. Singapore: McGraw Hill Book.
McCrae, R.R., & Allik, J. (2002). The Five Factor Model of personality across cultures. New York: Kluwer Academic/ Plenum Publishers.
Pervin, L. A. (1993). Personality: theory and research. (Ed. ke-6). Canada: John Wiley & Sons.
Pervin, L. A. (1996). The Science of personality. USA: John Wiley & Sons

Linzey & Hall. (1993). Theories of personality. (4th ed). New York: John Wiley & Sons.

ASPEK NILAI

Aspek Nilai

Fungsi Nilai

Fungsi utama dari nilai dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Nilai sebagai standar (Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994), fungsinya ialah:

Membimbing individu dalam mengambil posisi tertentu dalam social issues tertentu (Feather, 1994).
Mempengaruhi individu untuk lebih menyukai ideologi politik tertentu dibanding ideologi politik yang lain.
Mengarahkan cara menampilkan diri pada orang lain.
Melakukan evaluasi dan membuat keputusan.
Mengarahkan tampilan tingkah laku membujuk dan mempengaruhi orang lain, memberitahu individu akan keyakinan, sikap, nilai dan tingkah laku individu lain yang berbeda, yang bisa diprotes dan dibantah, bisa dipengaruhi dan diubah.
2. Sistim nilai sebagai rencana umum dalam memecahkan konflik dan pengambilan keputusan (Feather, 1995; Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994)
Situasi tertentu secara tipikal akan mengaktivasi beberapa nilai dalam sistim nilai individu. Umumnya nilai-nilai yang teraktivasi adalah nilai-nilai yang dominan pada individu yang bersangkutan.


3. Fungsi motivasional
Fungsi langsung dari nilai adalah mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari, sedangkan fungsi tidak langsungnya adalah untuk mengekspresikan kebutuhan dasar sehingga nilai dikatakan memiliki fungsi motivasional. Nilai dapat memotivisir individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Rokeach, 1973; Schwartz, 1994), memberi arah dan intensitas emosional tertentu terhadap tingkah laku (Schwartz, 1994). Hal ini didasari oleh teori yang menyatakan bahwa nilai juga merepresentasikan kebutuhan (termasuk secara biologis) dan keinginan, selain tuntutan sosial (Feather, 1994; Grube dkk., 1994).

Nilai Sebagai Keyakinan (Belief)
Dari definisinya, nilai adalah keyakinan (Rokeach, 1973; Schwartz, 1994; Feather, 1994) sehingga pembahasan nilai sebagai keyakinan perlu untuk memahami keseluruhan teori nilai, terutama keterkaitannya dengan tingkah laku. Nilai itu sendiri merupakan keyakinan yang tergolong preskriptif atau proskriptif, yaitu beberapa cara atau akhir tindakan dinilai sebagai diinginkan atau tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan definisi dari Allport bahwa nilai adalah suatu keyakinan yang melandasi seseorang untuk bertindak berdasarkan pilihannya (dalam Rokeach, 1973). Robinson dkk. (1991) mengemukakan bahwa keyakinan, dalam konsep Rokeach, bukan hanya pemahaman dalam suatu skema konseptual, tapi juga predisposisi untuk bertingkah laku yang sesuai dengan perasaan terhadap obyek dari keyakinan tersebut.


Dalam Rokeach (1973) dikatakan, sebagai keyakinan, nilai memiliki aspek kognitif, afektif dan tingkah laku dengan penjelasan sebagai berikut:

Nilai meliputi kognisi tentang apa yang diinginkan, menjelaskan pengetahuan, opini dan pemikiran individu tentang apa yang diinginkan.
Nilai meliputi afektif, di mana individu atau kelompok memiliki emosi terhadap apa yang diinginkan, sehingga nilai menjelaskan perasaan individu atau kelompok terhadap apa yang diinginkan itu.
Nilai memiliki komponen tingkah laku, artinya nilai merupakan variabel yang berpengaruh dalam mengarahkan tingkah laku yang ditampilkan.
Pemahaman nilai sebagai keyakinan, tidak dapat dipisahkan dari model yang dikembangkan Rokeach pertama kali pada tahun 1968, yang disebut Belief System Theory (BST). Grube dkk. (1994) menjelaskan bahwa BST adalah organisasi dari teori yang menjelaskan dan mengerti bagaimana keyakinan dan tingkah laku saling berhubungan, serta dalam kondisi apa sistem keyakinan dapat dipertahankan atau diubah. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam BST, tingkah laku merupakan fungsi dari sikap, nilai dan konsep diri.


Menurut Grube, Mayton, II & Rokeach (1994), BST merupakan suatu kerangka berpikir yang berupaya menjelaskan adanya organisasi antara sikap (attitude), nilai (value), dan tingkah laku (behavior). Menurut teori ini, keyakinan dan tingkah laku saling berkaitan. Keyakinan-keyakinan yang dimiliki individu terorganisasi dalam suatu dimensi sentralitas atau dimensi derajat kepentingan. Suatu keyakinan yang lebih sentral akan memiliki implikasi dan konsekuensi yang besar terhadap keyakinan lain. Jadi perubahan suatu keyakinan yang lebih sentral akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap tingkah laku dibandingkan pada keyakinan-keyakinan lain yang lebih rendah sentralitasnya. Urutan keyakinan menurut derajat sentralitasnya adalah self-conceptions, value, dan attitude.
Sikap (attitude) adalah keyakinan yang menempati posisi periferal/tepi atau paling rendah sentralitasnya dalam BST. Sikap merupakan suatu organisasi dari keyakinan-keyakinan sehari-hari tentang obyek atau situasi. Jumlah sikap yang dimiliki individu dapat berhubungan dengan banyak obyek atau situasi yang berbeda-beda. Karenanya seseorang dapat memiliki sikap yang ribuan jumlahnya. Mengingat sikap adalah keyakinan yang periferal, maka perubahan sikap hanya memiliki pengaruh yang terbatas pada tingkah laku.


Nilai (value) adalah keyakinan berikutnya yang lebih sentral. Nilai melampaui suatu obyek dan situasi tertentu. Nilai memegang peranan penting karena merupakan representasi kognitif dari kebutuhan individu di satu sisi dan tuntutan sosial di sisi lain.


Konsep diri (self-conceptions) adalah keyakinan sentral dari BST. Menurut Rokeach (dalam Grube, Mayton, II & Rokeach, 1994) konsep diri adalah keseluruhan konsepsi individu tentang dirinya yang meliputi organisasi semua kognisi dan konotasi afektif yang berupaya menjawab pertanyaan "Siapa diri saya ini?". Semua keyakinan lain dan tingkah laku terorganisasi di sekeliling konsep diri dan berupaya menjaga konsep diri yang positif.


Jadi, perubahan pada satu komponen BST, akan menyebabkan perubahan pada komponen lain termasuk tingkah laku. Berbeda dengan sikap, nilai adalah keyakinan tunggal yang mengatasi obyek maupun situasi. Karenanya, perubahan nilai lebih dimungkinkan akan menyebabkan perubahan komponen lainnya dibandingkan yang lain.

Hubungan Nilai Dan Tingkah Laku
Di dalam kehidupan manusia, nilai berperan sebagai standar yang mengarahkan tingkah laku. Nilai membimbing individu untuk memasuki suatu situasi dan bagaimana individu bertingkah laku dalam situasi tersebut (Rokeach, 1973; Kahle dalam Homer & Kahle, 1988). Nilai menjadi kriteria yang dipegang oleh individu dalam memilih dan memutuskan sesuatu (Williams dalam Homer & Kahle, 1988). Danandjaja (1985) mengemukakan bahwa nilai memberi arah pada sikap, keyakinan dan tingkah laku seseorang, serta memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan pada setiap individu. Karenanya nilai berpengaruh pada tingkah laku sebagai dampak dari pembentukan sikap dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai merupakan faktor penentu dalam berbagai tingkah laku sosial (Rokeach, 1973; Danandjaja, 1985).


Mengacu pada BST, nilai merupakan salah satu komponen yang berperan dalam tingkah laku : perubahan nilai dapat mengarahkan terjadinya perubahan tingkah laku. Hal ini telah dibuktikan dalam sejumlah penelitian yang berhasil memodifikasi tingkah laku dengan cara mengubah sistem nilai (Grube dkk., 1994; Sweeting, 1990; Waller, 1994; Greenstein, 1976; Grube, Greenstein, Rankin & Kearney, 1977; Schwartz & Inbar-Saban, 1988). Perubahan nilai telah terbukti secara signifikan menyebabkan perubahan pula pada sikap dan tingkah laku memilih pekerjaan, merokok, mencontek, mengikuti aktivitas politik, pemilihan teman, ikut serta dalam aktivitas penegakan hak asasi manusia, membeli mobil, hadir di gereja, memilih aktivitas di waktu senggang, berhubungan dengan ras lain, menggunakan media masa, mengantisipasi penggunaan media, dan orientasi politik (Homer & Kahle, 1988).

Pengukuran Nilai
Selama ini pengukuran nilai didasarkan kepada hasil evaluasi diri yang dilaporkan oleh individu ke dalam suatu skala pengukuran (mis. Rokeach value survey, Schwartz value survey). Evaluasi diri membutuhkan pemahaman kognitif maupun afektif terhadap diri sendiri, termasuk untuk membedakan antara nilai ideal normatif dan nilai faktual yang ada saat ini. Sejalan dengan hal ini, Schwartz, Verkasalo, Antonovsky dan Sagiv (1997) melihat hubungan antara respon terhadap social desirability dan skala nilai berdasarkan pelaporan diri. Mereka membuktikan bahwa terjadi bias pada pengukuran nilai yang mengandung aspek social desirability tinggi, yaitu pada tipe nilai hedonism, stimulation, self-direction, achievement dan power. Jadi pengukuran nilai yang menggunakan skala pelaporan diri pada penelitian yang banyak dipengaruhi aspek social desirability seperti dalam penelitian ini (mis. tingkah laku seksual) kurang baik.


Cara lain yang digunakan untuk mengetahui nilai individu adalah dengan teknik wawancara. Teknik ini telah digunakan oleh Rokeach (1973) untuk menggali nilai-nilai apa saja yang dimiliki seseorang. Ia melakukan wawancara dengan para responden yang dimintanya untuk menjawab pertanyaan tentang nilai apa yang menjadi tujuan akhir mereka.


Berdasarkan teori yang telah diuraikan sebelumnya, nilai-nilai seseorang akan tampak dalam beberapa indikator :

Berkaitan dengan definisi nilai sebagai cara bertingkah laku dan tujuan akhir tertentu, maka indikator pertama adalah pernyataan tentang keinginan-keinginan, prinsip hidup dan tujuan hidup seseorang.
Indikator berikutnya adalah tingkah laku subyek dalam kehidupannya sehari-hari. Nilai berpengaruh terhadap bagaimana seseorang bertingkah laku, memberi arah pada tingkah laku dan memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan. Jadi tingkah laku seseorang mencerminkan nilai-nilai yang dianutnya. Dari tingkah laku dapat dilihat apa yang menjadi prioritasnya, apa yang lebih diinginkan oleh seseorang.
Fungsi nilai adalah memotivasi tingkah laku. Seberapa besar seseorang berusaha mencapai apa yang diinginkannya dan intensitas emosional yang diatribusikan terhadap usahanya tersebut, dapat menjadi ukuran tentang kekuatan nilai yang dianutnya.
Salah satu fungsi dari nilai adalah dalam memecahkan konflik dan mengambil keputusan. Dalam keadaan-keadaan dimana seseorang harus mengambil keputusan dari situasi yang menimbulkan konflik, nilainya yang dominan akan teraktivasi. Jadi, apa keputusan seseorang dalam situasi konflik tersebut dapat dijadikan indikator tentang nilai yang dianutnya.
Fungsi lain dari nilai adalah membimbing individu dalam mengambil posisi tertentu dalam suatu topik sosial tertentu dan mengevaluasinya. Jadi apa pendapat seseorang tentang suatu topik tertentu dan bagaimana ia mengevaluasi topik tersebut, dapat menggambarkan nilai-nilainya.

Kebudayaan yang mudah diterima di Indonesia

Pada umumnya generasi muda dianggap sebagai individu-individu yang cepat menerima unsur-unsur kebudayaan asing yang masuk melalui proses akulturasi. Sebaliknya generasi tua, dianggap sebagai orang-orang kolot yang sukar menerima unsur barn. 4. Suatu masyarakat yang terkena proses akulturasi, selalu ada kelompok-kelompok individu yang sukar sekali atau bahkan talc dapat menyesuaikan din dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Perubahan-perubahan masyarakat dianggap oleh golongan tersebut sebagai keadaan krisis yang membahayakan keutuhan masyarakat.

Berbagai faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya suatu unsur kebudayaan baru diantaranya :
1. Terbatasnya masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan dengan orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut.
2. Jika pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam suatu kebudayaan ditentukan oleh nilai-nilai agama, dan ajaran ini terjalin erat dalam keseluruhan pranata yang ada, maka penerimaan unsur baru itu mengalami hambatan dan hams disensor dulu oleh betbagai ukuran yang berlandaskan ajaran agama yang berlaku.
3. Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan kebudayaan ban’. Misalnya sistem otoriter akan sukar menerima unsur kebudayaan baru.
4. Suatu unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang menjadi landasan bagi diterimanya unsur kebudayaan yang ban’ tersebut.
5. Apabila unsur yang baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas, dan dapat dengan mudah dibuktikan kcgunaannya olch warga masyarakat yang bersangkutan.

KAITAN MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

Proses dialektis ini tercipta melalui tiga tahap yaitu :
1. Ekstemalisasi, yaitu proses dimana manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Melalui ekstemalisasi ini masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia
2. Obyektivasi, yaitu proses dimana masyarakat menjadi realitas obyektif, yaitu suatu kenyataan yang terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Dengan demikian masyarakat dengan segala pranata sosialnya akan mempengaruhi bahkan membentuk perilaku manusia.
3. Intemalisasi, yaitu proses dimana masyarakat disergap kembali oleh manusia. Maksudnya bahwa manusia mempelajari kembali masyarakamya sendiri agar dia dapat hidup dengan .baik, sehingga manusia menjadi kenyataan yang dibentuk oleh masyarakat

Kebudayaan yang sulit diterima di Indonesia

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri. Manusia membutuhkan manusia lainnya untuk dapat berinteraksi dan bertahan hidup. Hal tersebut benar – benar dianut oleh masyarakat pada bangsa timur terutama Indonesia. Rasa kebersamaan yang kuat bisa dibilang sebagai kepribadian bangsa.

Segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat itu. Di Indonesia banyak sekali kebudayaan dan kepribadianyang ada, karena seperti yang kita tahu bahwa Indonesia memiliki banyak sekali suku sehingga dengan sudah sangat pasti kebudayaannya pun berbeda.

Sistem ideologi yang ada biasanya meliputi etika, norma, adat istiadat, peraturan hukum yang berfungsi sebagai pengarahan dan pengikat perilaku manusia atau masyarakat agar sesuai dengan kepribadian bangsa yang sopan, santun, ramah, dan tidak melakukan hal – hal yang dapat mencoreng kepribadian bangsa.

Sistem sosial meliputi hubungan dan kegiatan sosial di dalam masyarakat. Sistem teknologi meliputi segala perhatian serta penggunaanya, sesuai dengan nilai budaya yang berlaku. Pada saat unsur-unsur masing-masing kebudayaan saling menyusup. Proses migrasi besar-besaran, dahulu kala, mempermudah berlangsungnya akulturasi tersebut.

Pada dasarnya masyarakat daerah timur dengan contoh Indonesia, sangat terbuka dan toleran terhadap bangsa lain, tetapi selama masih sesuai dengan norma, etika serta adat istiadat yang ada di Indonesia.

Pada umumnya unsur-unsur kebudayaan asing yang mudah diterima adalah unsur kebudayaan kebendaan seperti peralatan yang terutama sangat mudah dipakai dan dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat yang menerimanya. Contohnya : Handphone, komputer, dan lain – lain.

Namun ada pula unsur-unsur kebudayaan asing yang sulit diterima adalah misalnya :

1. Unsur-unsur yang menyangkut sistem kepercayaan seperti ideologi, falsafah hidup dan lain-lain.
2. Unsur-unsur yang dipelajari pada taraf pertama proses sosialisasi. Contoh yang paling mudah adalah soal makanan pokok suatu masyarakat.
3. Pada umumnya generasi muda dianggap sebagai individu-individu yang cepat menerima unsur-unsur kebudayaan asing yang masuk melalui proses akulturasi. Sebaliknya generasi tua, dianggap sebagai orang-orang kolot yang sukar menerima unsur baru.
4. Suatu masyarakat yang terkena proses akulturasi, selalu ada kelompok-kelompok individu yang sukar sekali atau bahkan tak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi.


Berbagai faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya suatu unsur kebudayaan baru diantaranya :

1. Terbatasnya masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan dengan orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut.
2. Jika pandangan hidup dan nilai yang dominan dalam suatu kebudayaan ditentukan oleh nilai-nilai agama.
3. Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan kebudayaan baru. Misalnya sistem otoriter akan sukar menerima unsur kebudayaan baru.
4. Suatu unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang menjadi landasan bagi diterimanya unsur kebudayaan yang baru tersebut.
5. Apabila unsur yang baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas.

Minggu, 20 Maret 2011

Manusia dan Kebudayaan

Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun menurun. Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan juga dari kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.




Definisi Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari kata budaya yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Definisi Kebudyaan itu sendiri adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun kebudayaan juga dapat kita nikmati dengan panca indera kita. Lagu, tari, dan bahasa merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat kita rasakan.


Tujuh unsur kebudayaan universal

1. Sistem Religi

Kepercayaan manusia terhadap adanya Sang Maha Pencipta yang muncul karena kesadaran bahwa ada zat yang lebih dan Maha Kuasa.

2. Sistem Organisasi Kemasyarakatan

Sistem yang muncul karena kesadaran manusia bahwa meskipun diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna namun tetap memiliki kelemahan dan kelebihan masing – masing antar individu sehingga timbul rasa utuk berorganisasi dan bersatu.

3. Sistem Pengetahuan
Sistem yang terlahir karena setiap manusia memiliki akal dan pikiran yang berbeda sehingga memunculkan dan mendapatkan sesuatu yang berbeda pula, sehingga perlu disampaikan agar yang lain juga mengerti.

4. Sistem Mata Pencaharian Hidup dan Sistem – Sistem Ekonomi

Terlahir karena manusia memiliki hawa nafsu dan keinginan yang tidak terbatas dan selalu ingin lebih.

5. Sistem Teknologi dan Peralatan

Sistem yang timbul karena manusia mampu menciptakan barang – barang dan sesuatu yang baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan membedakan manusia dengam makhluk hidup yang lain.


6. Bahasa

Sesuatu yang berawal dari hanya sebuah kode, tulisan hingga berubah sebagai lisan untuk mempermudah komunikasi antar sesama manusia. Bahkan sudah ada bahasa yang dijadikan bahasa universal seperti bahasa Inggris.

7. Kesenian

Setelah memenuhi kebutuhan fisik manusia juga memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan psikis mereka sehingga lahirlah kesenian yang dapat memuaskan.


Manusia Sebagai Pencipta Dan Pengguna Kebudayaan
Budaya tercipta atau terwujud merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan segala isi yang ada di alam raya ini. Manusia di ciptakan oleh tuhan dengan dibekali oleh akal pikiran sehingga mampu untuk berkarya di muka bumi ini dan secara hakikatnya menjadi khalifah di muka bumi ini. Disamping itu manusia juga memiliki akal, intelegensia, intuisi, perasaan, emosi, kemauan, fantasi dan perilaku. Dengan semua kemampuan yang dimiliki oleh manusia maka manusia bisa menciptakan kebudayaan. Ada hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena manusia yang menciptakannya dan manusia dapat hidup ditengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan akan terus hidup manakala ada manusia sebagai pendudukungnya.
Kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia. Hasil karya manusia menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi manusia terhadap lingkungan alamnya. Sehingga kebudayaan memiliki peran sebagai


1.Suatu hubungan pedoman antarmanusia atau kelompoknya
2.Wadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kemampuan-kemampuan lain.
3.Sebagai pembimbing kehidupan dan penghidupan manusia
4.Pembeda manusia dan binatang
5.Petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berprilaku didalam pergaulan.
6.Pengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat dan menentukan sikapnya jika berhubungan dengan orang lain.
7.Sebagai modal dasar pembangunan.


Pengaruh Budaya Terhadap Lingkungan
Budaya yang dikembangkan oleh manusia akan berimplikasi pada lingkungan tempat kebudayaan itu berkembang. Suatu kebudayaan memancarkan suatu ciri khas dari masyarakatnya yang tampak dari luar. Dengan menganalisis pengaruh akibat budaya terhadap lingkungan seseorang dapat mengetahui, mengapa suatulingkungan tertentu akan berbeda dengan lingkungan lainnya dan mengasilkan kebudayaan yang berbeda pula.
Beberapa variabel yang berhubungan dengan masalah kebudayaan dan lingkungan:


1. Phisical Environment yaitu lingkungan fisik menunjuk kepada lingkungan natural seperti flora, fauna, iklim dan sebagainya.

2. Cultural Social Environment, meliputi aspek-aspek kebudayaan beserta proses sosialisanya seperti : norma-norma, adat istiadat dan nilai-nilai.

3. Environmental Orientation and Representation, mengacu pada persepsi dan kepercayaan kognitif yang berbeda-beda pada setiap masyarakat mengenai lingkungannya.

4. Environmental Behaviordan and Process, meliputi bagaimana masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan sosial.

5. Out Carries Produc, Meliputi hasil tindakan manusia seperti membangun rumah, komunitas dan sebagainya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan yang berlaku dan dikembangkan dalam lingkungan tertentu berimplikasi terhadap pola tata laku, norma, nilai dan aspek kehidupan lainnya yang menjadi ciri khas suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.


Proses Dan Perkembangan Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia oleh karenanya kebudayaan mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perkembangan manusia itu. Perkembangan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan manusia itu sendiri, karena kebudayaan diciptakan oleh dan untuk manusia.
Kebudayaan yang dimiliki suatu kelompok sosial tidak akan terhindar dari pengaruh kebudayaan kelompok-kelompok lain dengan adanya kontak-kontak antar kelompok atau melaui proses difusi. Suatu kelompok sosial akan mengadopsi suatu kebudayaan tertentu bilamana kebudayaan tersebut berguna untuk mengatasi atau memenuhi tuntunan yang dihadapinya.
Pengadopsian suatu kebudayaan tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lingkungan fisik. Misalnya iklim topografi sumber daya alam dan sejenisnya. Dari waktu ke waktu, kebudayaan berkembang seiring dengan majunya teknologi (dalamhal ini adalah sistem telekomunikasi) yang sangat berperan dalam kehiduapan setiap manusia.
Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan-perubahan disegala bidang, termasuk dalam kebudayaan. Mau tidak mau kebudayaan yang dianut suatu kelompok sosial akan bergeser. Suatu kelompok dalam kelompok sosialbisa saja menginginkan adanya perubahan dalam kebudayaan yang mereka anut, dengan alasan sudah tidak sesuai lagi dengan zaman yang mereka hadapi saat ini. Namun, perubahan kebudayaan ini kadang kala disalah artikan menjadi suatu penyimpangan kebudayaan.
Hal yang terpenting dalam proses pengembangan kebudayaan adalah dengan adanya kontrol atau kendali terhadap prilaku reguler (yang tampak) yang ditampilkan oleh para penganut kebudayaan. Karena tidak jarang perilaku yang ditampilkan sengat bertolak belakang dengan budaya yang dianut didalam kelompok sosial yang ada di masyarakat. Sekali lagi yang diperlukan adalah kontrol / kendali sosial yang ada di masyarakat sehingga dapat memilah-milah mana kebudayaan yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.


Problematika Kebudayaan
Seiring dengan perkembangannya, kebudayaan juga mengalami beberapa problematika atau masalah masalah yang cukup jelas yaitu :
Hambatan budaya yang ada kaitannya dengan pandangan hidup dan sistem kepercayaan.
Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan sudut pandang atau persepsi.
hambatan budaya yang berkaitan dengan faktor psikologi atau kejiwaan.
Masyarakat terpencil atau terasing dan kurang komunikasi dengan masyarakat lainnya.
Sikap Tradisionalisme yang berprasangaka buruk terhadap hal-hal yang baru
Mengagung-agungkan kebudayaan suku bangsanya sendiri dan melecehkan budaya suku bangsa lainnya atau lebih dikenal dengan paham Etnosentrisme.
Perkembangan Iptek sebagai hasil dari kebudayaan.


Perubahan Kebudayaan
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kebudayaan mengalami perkembangan (dinamis) sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri, oleh sebab itu tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Dengan demikian, kebudayaan akan mengalami perubahan. Adalima penyebab terjadi perubahan kebudayaan yaitu:

1.Perubahan lingkungan alam
2.Perubahan yang disebabkan adanya kontak dengan kelompok lain
3.Perubahan karena adanya penemuan (discovery)
4.Perubahan yang terjadi karena suatu masyarakat atau bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah dikembangkan oleh bangsa lain ditempat lain.
5.Perubahan yang terjadi karena suatu bangsa memodifikasi cara hidupnya dengan mengadopsisuatu pengetahuan atau kepercayaan baru atau karena perubahan dalam pandangan hidup dan konsepsinya tentang realitas.

Namun, perubahan kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa dan rasa manusia adalah tentu saja perubahan yang memberi nilai manfaat bagi manusia dan kemanusian, bukan sebaliknya yaitu yang akan memusnakan manusia sebagai pencipta kebudayaan tersebut.


Manusia dan Keadilan









Keadilan menurut aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan disini berarti titik tengah antara kedua ujung ekstrim yang terlalu banyak atau terlalu sedikit. Keadilan menurut Plato diproyeksikan pada diri amnusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang yang mengendalikan diri, dan perasaan yang dikendalikan oleh akal.

Menutur Socrates memproyeksikan keadilan kepada pemerintah. Menurut Socrates keadilan tercipta bilamana warga negara sudah merasakan bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Kong Hu Cu berpendapat lain keadilan terjadi apabila anak sebagai anak, ayah sebagai ayah, bila raja sebagai raja, semuanya mempunyai atau melaksanakan kewajibannya.

Secara umum keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang atara hak dan kewajiban. Keadilan terletak apada keharmonisan menuntut hak dan melaksanakan kewajiban. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan di mana setiap orang memperoleh apa yang telh menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan yang sama.

Keadilan Sosial

Untuk mewujudkan keadilan sosial , diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk, yaitu



1.perwujudan luhur yang mencerminkan sikap dan susana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2.sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hal dan kewajiban serta meghormati hak-hak orang lain.
3.sikap suka memberikan pertolongan kepada orang yang memerlukan.
4.sikap orang yang suka bekerja keras.
5.sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama.





Berbagai Macam Keadilan
Keadilan Legal atau Bermoral, Plato berpendapat bahwa keadilan clan hukum merupakan substansi rohani umum dan masyarakat yang membuat clan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (Tha man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan, Sunoto menyebutnya keadilan legal.
Keadilan Distributif, Aristoles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are treated equally).
Keadilan Komutatif, Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
Kejujuran

Jujur jika diartikan secara baku adalah "mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran". Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya.

Manusia dan Tanggung Jawab




Tanggung jawab menurut kamus bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga tanggung jawab menurut kamu bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.

Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat ebagai perwujudan kesadaran atau kewajibannya. Tanggung jawab itu bersifat kodrati artinya sudah menjadi bagian kehidupan manusia bahwa setiap manusia pasti dibebani sebuah tanggung jawab.

Tanggung jawab adalah ciri manusia beradab (berbudaya).Manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruknya dari perbuatannya. Untuk memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh usaha melalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.


Macam-macam Tanggung Jawab

Ada beberapa macam jenis tanggung jawab, yaitu

1. Tanggung jawab terhadap diri sendiri
Tanggung jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran setiap seseorang untuk memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai manusia pribadi. Dengan demikian bisa memecahkan masalah-masalah kemanusiaan mengenai dirinya sendiri. Menurut sifat dasarnya manusia adalah makhluk
bermoral, tapi manusia adalah makhluk pribadi.



2. Tanggung jawab terhadap keluarga


3. Tanggung jawab terhadap masyarakat

Pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lai. Karena manusia adalah makhluk sosial. Selain itu manusia juga harus berkomunikasi dengan manusia lain. Sehingga dengan demikian manusia disini merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti anggota masyarakat yang lain agar dapat melangsungkat hidupnya dalam masyarakat tersebut.


4. Tanggung Jawab terhadap Bangsa dan negara


Suatu kenyataan lagi, manusia adalah warga negara suatu negara. Dengn berpikir, berbuat, bertindak, dan bertingkah laku Manusia terikat oleh norma-norma atau aturan-aturan yang dibuat oleh negara. Manusia tidak dapat berbuat seenaknya sendiri. Bila manusia berbuat salah, maka ia bertanggung jawab kepada bangksa dan negara.


5. Tanggung Jawab kepada Tuhan




Tuhan menciptakan manusia dimuka bumi ini bukan tanpa tanggung jawab, melainkan untuk mengisi kehidupannya dan bertanggung jawab kepada Tuhan. Sehingga manusia tidak dapat lepas dari hukuman-hukuman Tuhan yang tertuang dalam kitab suci melalui kitab-kitab berbagai macam agama.

manusia dan cinta kasih





Menurut kamus umum bahasa Indonesia W.J.S. perwadarminta, cinta kasih adalah rasa sangat suka (kepada) atau (rasa) sayang (kepada), ataupun (rasa) sangat kasih atau sangat tertarik hatinya. Sedangkan kata kasih atrinya perasaan atau cinta kepada atau menaruh belas kasihan. dengan demikian arti cinta dan kaih hampir bersamaan, sehingga kata kasih memperkuat rasa cinta. Karena itu cinta kasih dapat diartikan sebagai perasaan suka (sayang) kepada seseorang yang disertai dengan menaruh belas kasihan.
Walaupun cinta kasih mengandung arti yang hampir bersamaan, namun terdapat perbedaan juga anatara keduanya. Cinta lebih mengandung perngertian mendalamnya rasa, sedangkan kasih lebih keluarnya, dengan kata lain bersumber dari cinta yang mendalam itulah kasih dapat diwujudkan secara nyata.
Cinta memegang peranan yang pernting dalam kehidupan manusia, sebab cinta merupakan landasan dalam kehidupan perkawinan, pembentukan keluarga dn pemeliharaan anak, hubungan erat di masyarakat dan hubungan manusiawi yang akrab. Demikian pula cinta adalah pengikat yang kokoh antara manusia dengan Tuhannya sehingga manusia menyembah Tuhan dengan ikhlas, mengikuti perintahNya dan berpegang teguh pada syariatNya.
Dalam buku seni mencinta, Eric Fromm menyebutkan, bahwa cinta itu terutama memberi, bukan menerima. dan memberi merupakan ungkapan yang paling tinggi dari kemampuan. Yang paling penting dalam memberi ialah hal-hal yang sifatnya manusiawi, bukan materi. Cinta selalu mnyatakan unsr-unsur dasar tertentu, yait pengasuhan, tanggung jawab, perhatian, dan pengenalan. Dalam pengasuhan contonya kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya.
Pengertian cinta juga dikemukakan oleh Dr. Sarlito W.Sarwono. Dikatakannya bahwa cinta memiliki tiga unsur yaitu keterikatan, keintiman, dan kemesraan. Yang dimaksud dengan keterikatan ialah adanya perasaan untuk hanya bersama dia, segala prioritas unutk dia, tidak mau pergi dengan orang lain kecuali dengan dia. Kalau ada janji dengan dia harus ditepati, ada uang sedikit beli oleh-oleh untuk dia. Unsur kedua adalah keintiman yaitu adanya kebiasaan-kebiasaan dan tngkah laku yang menunjukkan bahwa antara anda dengan dia sudah tidak ada jarak lagi. Panggilan-panggilan formal seperti bapak, Ibu, saudara digantikan dengan sekedar memanggi nama atau sebutan sayang dan sebagainya. unsur ketiga adalah kemesraan yaitu adanya rasa ingin membelai atau dibelai, rasa kangen kalau jauh ata lama tidak bertemu, adanya ucapan-ucapan yang mengungkapkan rasa sayang dan seterusnya.
Cinta juga dapat diwarnai dengan kemesraan yang sangat meggejolak, tetapi unsur keintiman dan keterikatannya kurang. Cinta yang seperti itu disebut cinta yang pincang karena garis-garis unsur cintanya tidak membuat segitiga sama sisi.
Dalam kitab suci Al-Quran, ditemui adanya fenomena yang bersembunyi dalam jiwa manusia. Cinta memiliki tiga tingkatan-tingkatan : tinggi, menengah, dan rendah. Hikmah cinta adalah sangat besar. Hanya orang yang telah diberi pemahaman dan kecerdasan oleh Allah sajalah yang mampu merenungkannya. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah :







Sesungguhnya cinta itu adalah merupakan ujian yang berat dan pahit dalah kehidupan manusia karena setiap cinta akan mengalami berbagai macam rintangan.
Bahwa fenomena cinta yang telah melekat di dalam jiwa manusia merupakan pendorong dan pembangkit yang paling besar di dalam melestarikan kehidupan lingkungan.
Bahwa fenomena cinta merupakan faktor utama dalam kehidupan manusia, dalam kenal-mengenal antar mereka.
Fenomena cinta, jika diperhatikan merupakan pengikat yang paling kuat di dalam hubungan antar anggota keluarga, kerukunan bermasyarakat, mengasihi sesama makhluk hidup, menegakkan keamanan, ketentraman, dan keselamatan di segala penjuru bumi. Cinta merupakan benih dari segala kasih dan sayang dan segala bentuk persahabatan dimanapun adanya.

Dra. Kartini Kartono dalam bukunya Psikologi Abnormal & Pathologi Seksmengemukakan bahwa wanita dan pria dapat disebut normal dan dewasa bila mampu mengadakan relasi seksual dalam bentuk normal dan bertanggung jawab, hubungan seks yang normal mengandung pengertian bahwa hubungan tersebut tidak menimbulkan efek dan konflik psikis bagi kedua belah pihak serta tidak bersifat paksaan. Sedangkan untuk yang bertanggung jawab adalah bahwa kedua belah pihak menyadari konsekuensinya dan bertanggung jawab terhadapnya. Misalnya, mau menikah dan memelihara anak yang menjadi hasil relasi seksual yang dilakukan.



Abnormalitas menurut Dra. Kartini dibagi dalam tiga golongan, yaitu:

Dorongan Seksual yang abnormal
Pelacuran (prostitution) yang pada umumnya dilakukan wanita dalam melayani pria hidung belang karena dorongan ekonomi, kekecewaan dan seterusnya.

Perzinahan (adultery) merupakan relasi seksual yang dilakukan oleh pria atau wanita yang tidak sah secara agama dan hukum.

Perkosaan (rape) merupakan perbuatan cabul dengan cara kekerasaan atau paksaan.

Bujukan (seduction) merupakan bujukab atau rayuan untuk mengajak bersetubuh.
Partner Seks yang abnormal

Homoseksualitas, terhadap sesama jenis.

zoofilia, terhadap hewan.

Pedofilia, Terhada anak di bawah umur.

Geronto-seksualitas, Pria terhadap wanita tua.
Dalam pemuasan dorongan seksual

Voyeurism atau Peeping Tom, dilakukan seseorang yang mendapat kepuasan seks dengan melihat orang lain telanjang.

Transvestutisme, merupakan gejala pathologis yang memekai pakaian lawan jenis.

Transseksualisme, terjadi pada sesorang yang merasa dirinya memiliki seksualitas yang berlawanan dengan kenyataan.


KASIH SAYANG
Erich Fromm (1983:54) dalam bukunya Semi Mencintai mengemukakan tentang adanya macam macam cinta, yaitu:
Cinta Persaudaraan, diwujudkan manusia dalam tingkah atau perbuatannya. Cinta persaudraan tidak mengenal adanya batas – batas manusia berdasarkan SARA.
Cinta Keibuan, kasih sayang yang bersumber pada cinta seorang ibu terhadap anaknya.
Cinta Erotis, kasih sayang yang bersumber dai cinta erotis (birahi) merupakan sesuatu yang sifatnya khusus sehingga memperdayakan cinta yang sesunguhnya. Namun, bila orang yang melakukan hubungan erotis tanpa disadari rasa cinta, di dalamnya sama sekali tidak mungkin timbul rasa kasih sayang.
Cinta Diri Sendiri, yaitu bersumber dai diri sendiri. CInta diri sendiri bernilai positif jika mengandung makna bahwa seseorang dapat mengurus dirinya dalam kebutuhan jasmani dan rohani.
Cinta Terhadap Allah..




“Adakah tapak tanganmu berkeringat, hatimu berdebar kencang dan suaramu tersekat di dadamu? Itu bukan Cinta, itu SUKA.
Adakah kamu tidak dapat melepaskan pandangan mata darinya? Itu bukan Cinta, itu NAFSU.
Adakah kamu menginginkannya kerana kamu tahu ia ada di sana? Itu bukan Cinta, itu KESEPIAN.
Adakah kamu mencintainya kerana itulah yang diinginkan semua orang? Itu bukan Cinta, itu KESETIAAN.
Adakah kamu tetap mengatakan kamu menyintainya kerana kamu tidak ingin melukai hatinya? Itu bukan Cinta, itu BELAS KASIHAN.
Adakah kamu menjadi miliknya kerana pandangan matanya membuat hatimu melompat? Itu bukan Cinta, itu TERGILA-GILA.
Adakah kamu memaafkan kesalahannya kerana kamu mengambil berat tentangnya? Itu bukan Cinta, itu PERSAHABATAN.
Adakah kamu mengatakan padanya bahawa setiap hari hanya dia yang kamu fikirkan? Itu bukan Cinta, itu DUSTA.
Adakah kamu rela memberikan semua perkara yang kamu senangi untuk kepentingan dirinya? Itu bukan Cinta, itu KEMURAHAN HATI.
Tetapi
Adakah kamu tetap bertahan kerana campuran antara kesakitan dan kegembiraan yang membutakan dan tak terfahami … menarikmu mendekati dan tetap bersamanya? ITULAH CINTA.
Apakah kamu menerima kesalahannya kerna itu bahagian dirinya dan siapa dirinya? Jika demikian, ITULAH CINTA.
Adakah kamu tertarik dengan orang lain tapi setia dengannya tanpa penyesalan? Jika demikian, ITULAH CINTA.
Adakah kamu menangis kerana kesakitannya walaupun saat itu dia kuat? ITULAH CINTA.
Adakah hatimu sakit dan hancur ketika dia bersedih? ITULAH CINTA.
Adakah hatimu gembira ketika dia berbahagia? ITULAH CINTA.
Adakah matanya melihat hatimu dan menyentuh jiwamu begitu mendalam sehingga menusuk? Yang demikian itulah namanya CINTA.




CINTA, RASA, KARYA CIPTA..
DIMANA ANTARA 2 UMAT MANUSIA YANG TERCIPTA...
BUKAN CINTA SEGITIGA ATAU CINTA SEMU..
CINTA SUCI YANG TULUS KASIH MENYAYANGI BUKAN DENGAN SYARAT.
CINTA TULUS MENCINTAI DAN CINTA TAK PERNAH SALAH...
KARENA CINTA MANUSIA BAHAGIA DAN MUNGKIN JUGA BISA MENDERITA.
SERIBU ALASAN MENGAPA CINTA TIDAK DAPAT BERLOGIKA...